Jumat, 26 Mei 2017

Menjalin Kerjasama dengan Anak

Menjalin Kerja Sama dengan Anak

Sebagai Ratu Rumah Tangga, kita tentu memiliki aturan-aturan tertentu yang ingin anak-anak  mematuhinya. Seperti yang saya alami, saya ingin: anak-anak makan dan minum sendiri dengan rapi atau membersihkan yang tumpah, mengusap ingus, bab dan bak di kamar mandi, memakai baju dalam, jangan membawa makanan ke tempat tidur, jangan membuang2 air kran,  tidak berteriak-teriak, atau jangan menumpahkan sabun cair ke bak mandi, dll
Untuk mewujudkan semua itu, kita perlu mengkomunikasikan dengan anggota keluarga kita. Tapi tanpa kita sadari, karena perasaan kita yang sudah terpancing emosi, kita seringkali melakukan kesalahan dalam mengkomunikasikan hal-hal tersebut dengan anak-anak.
1. Menyalahkan/Menuduh
"Ini siapa sih yang keluar ruang malan nggak nutup pintu? Pasti mas Fatih ya... lihat itu ikannya hilang pasti sudah diambil kucing"
2. Mengata-ngatai
"Masa sih habis pipis nggak mau cawik (bersuci). Jijik mas... "
"Masa sih ingus nggak mau dibersihkan. Hih. Jorok banget sihh "
3. Mengancam
"Awas ya, kalau air minumnya sampai tumpah lagi, Bunda suruh ngepel sendiri nanti kamu!"
4. Perintah
"Ayo Mas... cepetan mandinya...! Bunda buru-buru nihh "
"Lihat kacangnya tumpah. Ayo ambil!
5. Menceramahi
"Bunda sudah bilang berkali-kali, kalau pipis itu ke kamar mandi, celananya dicopot dulu. Pipisnya sambil jongkok, terus disiram... biar nggak pesing... ! Terus cawik, biar najisnya hilang...! Ngerti??!!"
6. Memperingatkan
"Awas jangan main pisau, nanti tangamu putus!"
"Jangan panjat jendela, jatuh kamu nant!"
7. Sok Berkorban
"Bunda capek banget! Semuanya gara-gara Mas Fatih hari ini main-main terus bikin rumah berantakan, bunda harus bersihkan semuanya!"
"Gara-gara gendong mas Fatih sekarang tangan bunda sakit sekali"
8. Membandingkan
"Mas Fatih bangun tidur mesti nangis. Lihat adik aja, bangun tidur nggak nangis!"
9. Sarkasme
"Ya ampun... masa air minum diludahin sih? Ayo lanjutkan. Habis itu kamu minum ya. Apa kamu mau minum air yang sudah diludahin?"
"Kamu ini kok selalu pukul-pukul adik? Mau bunda pukul juga? Biar tau rasanya dipukul"
10. Ramalan
Kalau kamu lihat TV terus, main HP terus, nanti kamu nggak bisa bikin pesawat"

Contoh-contoh tersebut adalah yang pernah kami alami di rumah. Hehee kalau dituliskan ternyata kasar sekali yaa....

Nah, ada beberapa poin yang mungkin terdengar lumrah, namun ternyata itu keliru. Coba posisikan diri kita di posisi anak yang mendapat pernyataan seperti itu. Bagaimana perasaan kita? Jangankan anak-anak, kita saja sebagai orang dewasa pasti tidak suka dengan pernyataan itu. Kita tentu tidak ingin anak-anak kita tumbuh dengan perasaan membenci kita bukan?

Maka berikut adalah beberapa hal yang bisa kita lakukan agar anak-anak bisa bekerjasama dengan kita.

1. Jabarkan. Jabarkan apa yang dilihat, atau jabarkan masalahnya.
2. Berikan informasi.
3. Ucapkan kata kunci.
4. Ungakapkan yang Anda rasakan. Anak perlu tahu perasaan kita.
5. Sampaikan pesan dalam tulisan.

Maka percakapan yang saya alami bersama Fatih (3y) menjadi seperti berikut
"Kalau sudah selesai, handuknya digantung di sana ya"
"Kalau sudah penuh, matikan airnya yaa"
"Waduh, kacangnya tumpah. Ayuk, kita ambil satu-satu"
"Waduh, airnya tumpah. Ayuk ambil kain pel"
"Handuk basah kalau diletakkan di atas kasur, nanti kasurnya jadi basah juga"
"Buang-buang air itu mubadzir..."
"Airnya penuh, Le"
"Bunda malu kalau Bunda sedang tidur, pintu kamar dibuka"
"Bunda nggak suka kalau ada yang bermain-main kayu di dalam rumah, apalagi sampai kena bunda atau ngerusak-ngerusak...
"Air minum yang sudah diludahi itu banyak kumannya"
"Bunda sedang buru-buru. Kalau mas Fatih masih mau main, Bunda tunggu 5 menit lagi ya... "
"Main air boleh, asal tidak di buang-buang"
"Marah boleh, tapi tidak boleh pukul"

Di rumah, saya memiliki tmpat sholat khusus yang "bebas ompol". Siapapun yang masuk, harus menyucikan diri mereka, tanpa kecuali anak-anak. Tapi hingga mulut ini berbusa-busa, sepertinya penjelasan masih belum bisa membuatnya mematuhi aturan. Maka saya membuat tulisan yang saya tempel di pintu depan setinggi kepala Fatih: "cuci kaki dulu ya... "
Memang Fatih belum bisa membaca, hingga suatu ketika saat dia hendak memasuki tempat sholat, saya menghentikan langkahnya.
Bunda : Stop!
Fatih : (berhenti melangkah)
Bunda : sebentar Mas. Lihat ini! (Menunjuk tulisan) "CUCI KAKI DULU" Mas Fatih kalau masuk tempat sholat harus cuci kaki dulu ya...
Fatih : jadi karena ada tulisan ini Fatih cuci kaki dulu ya Nda?
Bunda : iya (saya kira Fatih akan melepas tulisan itu, lalu masuk tanpa cuci kaki)
Fatih : (melangkah ke kamar mandi untuk cuci kaki)
Saya tidak menyangka bahwa dia ternyata berusaha mematuhi aturan tersebut. Saat dia malas cuci kaki, bahkan dia hanya menunggu dan bermain di luar, atau meminta saya untuk mencucikan kakinya.

Saya tidak menjanjikan cara ini pasti berhasil, karena tujuan kita sebenarnya bukan untuk mengatur atau mengendalikan anak, tapi untuk memperlakukan anak-anak secara lebih manusiawi dan untuk memunculkan inisiatif mereka.

Faktor lain yang berpengaruh dalam menjalin kerja sama dengan anak adalah mood mereka. Saat mood mereka baik, tentu lebih mudah untuk menjalin kerjasama dibanding saat mereka sedang bad mood.

Berbicara Agar Anak Mau Mendengar dan Mendengar Agar Anak Mau Berbicara. Adele Faber dan Elanie Mazlish. Lentera Pustaka.2002.

Jumat, 19 Mei 2017

Membantu Anak Mengatasi Perasaannya

Membantu Anak Mengatasi Perasaannya

Saya biasa memberikan jawaban sebaik mungkin saat anak-anak mengeluhkan suatu permasalahn, biasanya dengan mencoba menawarkan solusi.

Misalnya pada situasi berikut:
Fatih (saya perkirakan usianya saat itu masih menjelang 3 tahun) sedih dan marah karena sari kedelai yang dijual di pedsagang sayur yang tinggal satu, dibeli oleh saskia. Di sela isak tangisnya, saya mencoba menghiburnya dengan membuatkan sendiri sari kedelai yang banyak untuknya. Fatih menolak.
Dalam situasi lain, saat Fatih sangat menginginkan untuk meminjam HP ayahnya yang sedang digunakan untuk bekerja, saya mencoba menawarkan HP saya. Fatih pun menolak, dan tetap bersikeras.
Saya tahu bahwa dia ingin makan es krim atau susu, tapi pada kondisi tertentu, karena alergi yang dimilikinya, saya melarang. Tentu dia rewel.

Suatu hal yang lumrah, anak-anak berusaha menceritakan kegalauan hatinya pada situasi:
1. Sangat marah karena berebut mainan
2. Sangat marah dengan seseorang
3. Merasa benar atas segala sesuatu
4. Sangat menginginkan sesuatu
5. Ingin mengendalikan sesuatu
6. Bersedih karena suatu hal
7. Dll,

Sebagai seorang ibu yang menyayangu anak, saya rasa pun bukan hanya saya yang mencoba membantu mereka dengan menawarkan solusi atas permasalah mereka tersebut.

Belakangan, saya mengetahui bahwa berkomunikasi dengan anak ternyata memerlukan keahlian khusus. Dan ternyata anak-anak lebih cerdas dari yang kita sangka, bahwa mereka bisa menemukan solusi atas permasalah mereka.

Masalah anak-anak memang bisa jadi sesuatu yang sederhana bagi kita, tapi bagi mereka bisa jadi sangat serius.

Sebaiknya kita tidak menyepelekan hal ini, salah-salah malah anak-anak menganggap kita adalah orang tua yang menyebalkan.

Maka berikut adalah beberapa keahlian yang perlu kita latih untuk membantu anak mengatasi perasaan mereka:
1. Tunjukkan perhatian penuh
2. Berikan respon singkat seperti, "Oh..." atau "Hmm..."
3. Beri nama perasaan itu
4. Berikan keinginan anak dalam imajinasinya

Saat mencoba keahlian ini, ingat bahwa tujuan kita adalah tidak berusaha untuk mengendalikan anak-anak atau memanipulasi perilaku anak-anak, tapi tujuan kita adalah untuk mencoba menghargai anak-anak sebagai manusia muda yang juga memiliki otak yang berproses.
Pada anak balita, menguasai keahlian ini insyaAllah bisa meminimalisir tatrum pada balita.

Situasi yang saya ceritakan di atas, tidak hanya terjadi sekali atau dua kali, namun berkali-kali. Bahkan hingga sekarang pun saat usianya sudah mencapai 3,5 tahun, situasi tersebut masih sering terulang. Hanya saja, setelah mencoba keahlian tersebut, maka yang terjadi pun berbeda.

Saat Fatih menginginkan HP ayah, sementara HP ayah sedang dipakai untuk bekerja. Saya mencoba memberikan perhatian penuh dengan menghentikan aktivitas lalu mendekatinya dan memposisikan diri sejajar dengan Fatih.
Fatih :(menangis sambil berteriak tidak jelas) Fatih mau pinjam HP ayah, Ndaaa... hua hua huaa...
Bunda : iya, Bunda mengerti Fatih pengen pinjam HP ayah, tapi tidak boleh karena masih dipakai kerja. Jadinya Mas Fatih sedih dan marah... (pada beberapa anak, respon singkat seperti "oh...", "hmm..." dan "iya... " cukup membuat anak mengerti, bahwa yang mendengar sudah menerima apa yang dimaksudkan, tapi untuk Fatih, menurut kebiasaan dia akan terus mengulangi apa yang dia keluhkan hingga saya mengulangi kalimatnya untuk membuatnya mengeri bahwa saya menangkap maksudnya)
Fatih : huaa... hua... hua... ayah nggak boleh kerja, Nda...
Bunda : iya,bunda mengerti, Mas Fatih pengen pinjam HP ayah tapi nggak boleh, jadinya Mas Fatih marah dan sedih (saya memberi nama perasaannya: marah dan sedih)
Fatih : hua ... hua... hua...
Bunda : (diam mendengarkan)
Fatih : (Beberapa saat kemudian, isaknya sudah mulai jarang, lalu mulai berkata) Ayah mana, Nda? Fatih mau ikut ayah saja ahh... (sudah menemukan solusi)
Di lain kesempatan, saat Fatih merengek hendak pinjam HP ayahnya lagi, di akhir dialog dia bertanya, "Kalau HP bunda dimana?"
D lain kesempatan, bahkan dia mencoba memberikan hal (mainan) yang menurutnya bisa membuat ayahnya tertarik sehingga meletakkan HPnya dan memilih mainan #hahaha

Saat Fatih sedang ingin makan es krim, tapi kondisi fisiknya tidak memungkinkan karena kurang sehat, diare atau flu
Fatih : Fatih mau es krim Nda,
Bunda : Hmm... enak ya kalau bisa makan es krim (saya mencoba memberikan apa yang dia inginkan dalam imajinasinya)
Fatih : Sedaaappp...
Bunda : Tapi mas Fatih kan masih batuk... (sebagai pengganti dari perkataan "Tidak boleh, kamu kan batuk")
Fatih : (diam)
Bunda : (diam)
Fatih : nanti kalau sudah nggak batuk boleh makan es krim ya Nda... (sambil tersenyum. Fatih sudah menemukan solusinya...)
Bunda : boleh boleh boleh... (menjawab dengan riang)

Suatu ketika saya sedang terburu2 hendak membeli sayuran. Saya sengaja tidak mengajak Fatih yang saat itu sedang melihat TV. Saya menyelinap dari belakang dan mencari jalan lain yang memungkinkan Fatih tidak melihat saya keluar. Karena jika Fatih tau saya belanja tanpa mengajaknya dia pasti akan marah. Sepulangnya, saya menemukan Fatih sudah menangis di depan rumah. Wahh, ini... jika biasanya saya sedikit terpancing emosi dan mengalihakan dengan hal lain sehingga membuat Fatih jadi tatrum, maka saat itu saya memilih untuk tenang, meletakkan sayur ke kulkas dulu lalu mendatangi Fatih.
Fatih : sayurnya dibuang ajaaa... hua hua huaa...
Bunda : Mas Fatih marah karena nggak diajak sama Bunda beli sayuran
Fatih : huaaa huaaa huaaaaa sayurnya dibuang aja (tambah kenceng)
Bunda : iya, bunda ngerti, Mas Fatih marah, jadi pengen sayurnya dibuang aja...
Fatih : [mulai surut volume tangisannya]
Bunda : Bunda ngerti mas Fatih pengen ikut Bunda ke Cak Awi, Mas Fatih pengen beli jajan, tapi Bunda nggak ajak Mas Fatih... jadi Mas Fatih marah...
Fatih : (diam, lalu tampak memperhatikan hal lain)
Bunda : Mas Fatih tadi lagi lihat apa? Yuk kita lihat sama-sama ...
Fatih : ayuukkk.... (sudah ceria lagi)

Saat anak curhat, pun respon saya juga jadi lain. Jika biasanya saya merespon dengan pertanyaan atau solusi. Kini saya hanya merespon dengan mengulangi ceritanya, dan ceritanya akan mengalir alami.

Pada anak lain mungkin tidak suka dengan pengulangan ini, yang terdengar seperti burung beo. Sehingga pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari bisa bervariasi, tergantung pada karakter ibu dan anak.

Berbicara Agar Anak Mau Mendengar dan Mendengar Agar Anak Mau Berbicara. Adele Faber dan Elanie Mazlish. Lentera Pustaka.2002.