Ingatan saya tentang bagaimana "model marah" orang tua saya pada masa kecil saya sedikit. Ibu saya meninggal saat saya naik ke kelas 5 SD, usia saya saat itu sekitar 11 tahun, saya pun jarang ikut ibu saya. Saya lebih sering bersama ayah saya. Karena sebelum meninggal ibu sudah sering menjalani terapi pengobatan. Dan sepanjang ingatan saya, beliau tidak pernah memarahi saya.
Ayah saya... seingat saya ayah saya jarang memarahi saya, tapi beliau pernah menjewer saya sekali, pernah menyiram saya sekali.
Bagaimana model marah saya pada anak-anak?
Dulu sebelum saya mengetahui ilmu parenting, saat marah saya nyaris kejam terhadap anak-anak. Tangan dan mulut bersahutan. Model marah ini entah karena terinspirasi lingkungan, entah karena model pengasuhan orang tua, atau entah karena saya sendiri... astaghfirullah...
Iseng-iseng saya tanya kakak saya, bagaimana model marah ayah dan ibu. Ternyata kata kakak saya, mereka pun pernah mengomel, mencubit juga memukul.
Pelan saya menggumam, oh... pantas...
Baiklah saya tidak bermaksud menyalahkan, saya memahami betul perjuangan berat yang dilakukan oleh ayah dan ibu kami dalam membesarkan dan mendidik kami semua. Saya pun pernah merasakan (yang saya mengerti kalau namanya) HS maupun HE yang dijalankan oleh orang tua saya terutama terkait ilmu agama. Hanya saja ternyata perasaan yang terlibat dalam suatu peristiwa tertanam kuat dalam benak seorang anak dan terus berkesan hingga dewasa. Tentang marahnya orang tua, tentu akan kita pahami sendiri setelah kita menjadi orang tua.
Kini sebagai individu dewasa yang dikaruniai akal yang sempurna, kita sudah bertanggung jawab dengan keputusan kita. Maka kemarahan kita pun kelak akan diminta pertanggungjawaban sendiri.
Dari grup HEbAT yang saya ikuti, saya mendapat pencerahan tentang penyucian jiwa, atau Tazkiyatun Nafs dalam mengasuh anak.
Berikut saya mengutip langsung penjelasan Ust. Harry Santosa:
Tazkiyatun Nafs adalah bahasa alQuran untuk mentherapy secara alamiah dan fitriyah apa apa yang menyebabkan kita berperilaku buruk. Tiada cara yang baik dan mengakar kecuali memperbaiki jiwa sebelum memperbaiki fikiran dan amal.
Belum pernah ada surat di dalam alQuran dimana Allah bersumpah begitu banyak, sampai 11 kali, kecuali untuk pensucian jiwa "sungguh beruntung mereka yang mensucikan jiwanya" (surat asSyams).
Warisan pengasuhan masa lalu dalam dunia psikolog sering disebut Inner Child, kadang sehebat apapun ilmu parenting atau psikologi yang kita pahami, tetap saja di tataran praktis yang kita pakai adalah apa yang pernah kita alami ketika kecil. Misalnya, kita tahu membentak dan menjewer itu buruk, namun ketika kekesalan memuncak maka hilang semua pemahaman, yang ada lagi lagi membentak dan menjewer.
Ada terapinya untuk ini, namun sebaiknya kita menggunakan jalur alamiah dan syar'i yaitu Tazkiyatunnafs, atau pensucian jiwa.
Ini perlu waktu, perlu momen, perlu keberanian utk keluar dari zona nyaman dan instan.
AlQuran juga mengingatkan bahwa sebelum ta'lim maka penting untuk tazkiyah lebih dulu. Dalam prakteknya paralel saja, karena begitu kita berniat sungguh2 mendidk anak sesuai fitrahnya maka sesungguhnya kita sedang tanpa sadar mengembalikan fitrah kita atau sedang tazkiyatunnafs
Dalam buku tarbiyah Ruhiyah, pensucian jiwa itu bisa dilakukan dengan 5 M
1. Mu'ahadah -mengingat ingat kembali perjanjian kita kepada Allah. Baik syahadah, maksud penciptaan, misi pernikahan, doa doa ketika ingin dikaruniai anak, menyadari potensi2 fitrah dstnya
2. Muroqobah - mendekat kepada Allah agar diberikan qoulan sadida, yaitu ucapan dan tutur yang indah berkesan mendalam, idea dan gagasan yang bernas dalam mendidik, sikap dan tindakan yang pantas diteladani. Allahlah pada hakekatnya Murobby anak anak kita, karena Allahlah yang memahami fitrah anak anak kita. Maka kedekatan dengan Allah adalah agar hikmah hikmah mendidik langsung diberikan Allah untuk anak anak kita melalui diri kita.
3. Muhasabah - mengevaluasi terus menerus agar semakin sempurna dan sejalan dengan fitrah dan kitabullah, bukan obsesi nafsu dan orientasi materialisme
4. Mu'aqobah - menghukum diri jika tidak konsisten dengan hukuman yang membuat semakin bersemangat dan semakin konsisten untuk tidak melalaikan amanah
5. Mujahadah - sungguh sungguh menempuh jalan sukses (fitrah) dengan konsisten, membuat perencanaan dan ukuran2 nya
Nah, langkah tadi sebaiknya benar-benar dipraktikkan ya. Tentu diawali dengan niat bersungguh-sungguh.
Bismillah...
Sumber bacaan:
Ust. Harry Santosa dalam diskusi santai Bekasi Raya HEbAT 26 Okt. 2016
Sumber gambar:
http://almanar.co.id/wp-content/uploads/2013/12/Mengapa-Kita-Harus-Mensucikan-Jiwa-Tazkiyatun-Nafs-300x184.jpg