Materi: Septi Peni Wulandani
===================
Pada rentang usia pre-aqil baligh 8-14 tahun, orang tua memandu anak untuk "kaya akan gagasan", setelah kaya akan wawasan (0-7 tahun).
Orang tua menjadi teman bermain bagi anak, dan anak mulai bisa mempunyai peran dalam keluarga besar dan komunitas. Pada masa ini, anak boleh bergonta-ganti ide.
Pada masa usia pre-aqil baligh 8-14 tahun, adalah saat untuk menularkan value/nilai dan karakter, karena di usia 7 tahun merupakan masa pembentukan karakter.
Perlu dipahami, bahwa value/nilai keluarga dan karakter tidak bisa diajarkan, namun ditularkan melaui keteladanan.
Pada usia 8-14 tahun, umumnya anak sudah mulai tidak ego sentris.
Pada masa ini anak mulai melihat nilai-nilai sosial, etika-etika dasar dalam ajaran Islam. Pada usia sebelumnya (0-7 tahun) anak sudah mulai diperintahkan shalat.
Rentang usia pendidikan anak usia 8-14 tahun, terbagi pada 2 tahap :
➡Usia 8-10 tahun :
✅mengenal potensi diri,
✅magang/club untuk membuka wawasan sehingga melahirkan gagasan, dan
✅mulai menjalani ibadah syariah.
➡Usia 10-14 tahun :
✅belajar bersama Maestro,
✅magang project,
✅menghebatkan potensi diri, kemandirian, kepemimpinan dan sebagainya.
Anak-anak di jenjang usia 8-14 tahun mulai mengenal “MIMPI apa yang akan dia BANGUN”.
Ada beberapa tahapan yang ditempuh pada fase ini:
✳Pandu anak untuk memahami misi hidupnya dengan cara:
1. Mengajak anak untuk paham “Who am I?”
2. Mengajak anak untuk memahami alam sekitarnya/lingkungannya (kearifan lokal)
3. Mengajak anak untuk memahami zaman saat dia dibesarkan dan prediksi zaman saat anak ‘aqil baligh nanti.
4. Kuatkan aqidah anak akan keberadaan Allah swt.
✳Pandu anak untuk memahami potensi dan bakatnya.
Di bawah ini adalah tahapan yang sudah
dipraktekkan oleh Ibu Septi Peni Wulandani dan Pak Dodik Maryanto kepada anak-anak beliau, dengan tahapan sebagai berikut:
1. Memperbanyak aktifitas anak yang NON-Pelajaran, agar anak cepat menemukan potensi dirinya.
2. Memasukkan anak ke club Talent sesuai dengan potensi yang ditemukan dan diulang terus menerus.
3. Ajak anak menuangkan mimpinya dalam VISION BOARD
4. Memperkenalkan anak kepada beberapa learning model yang berkaitan dengan mimpi anak.
5. Memandu anak-anak untuk membuat Talent based Individual Project.
6. Menularkan Leadership dengan benar.
====================
TANYA
1⃣Bunda Cahya - Bekasi
Ustadz, Naura sulung saya (10 th) Alhamdulillah fitrah bakatnya sudah nampak. Ia suka sekali menggambar dan menulis. Seperti yang pernah sy dengar, jika semakin diberi beban dan semakin suka, semakin optimis, maka itu bakat.
Nah, Naura pun begitu cuma jadi memakan waktu hingga tugas2nya di rumah jadi terlewat (seringnya jadi nawar, izin tidak mengerjakan) ini bagaimana ya sebaiknya?
Untuk SMPnya, abinya memang berat untuk melepas di pesantren, apalagi kemudian ketika saya melihat ulasan ustz Harry si grup Hebat bahwa sebaiknya anak usia di bawah 15 th masih delidampingi orang tuanya, bulatlah tekad kami untuk tidak mengirim ke pesantren.
Anaknya sendiri sih inginnya HS, tapi sayanya kok merasa belum sanggup ya ustad. Jika misal HS lalu juga diberikan kursus menggambar dan menulis apa itu baik pak? Atau mungkin ada gambaran bagaimana baiknya? Karena jika mengirim ke maestro kok ya sepertinya masih berat (dan belum terbayang bagaimana kegiatannya nanti). Juga ada kekhawatiran jadi bosan di rumah, lalu bagaimana dengan kebutuhannya untuk bergaul dengan teman2nya? (Jika sekolah kan akan bertemu banyak teman..
Mohon pencerahan dari ustz, terima kasih.
JAWAB
Ustadz Adriano Rusfi
1⃣ Bunda Cahya, di Bekasi
Concern pada bakat bukan berarti kita mengabaikan yang lain. Bahkan, sesekali dalam Islam kita diperintahkan untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan fitrah kita, misalnya berperang. Allah memerintahkan manusia berperang, padahal fitrah manusia membenci peperangan.
Oleh karenanya, dalam pengembangan fitrah bakat anak-anak kita, jangan juga kita terlalu mendewa-dewakan fitrah tersebut. Dalam beberapa hal malah bakat itu harus disimpan, disembunyikan dan diinkubasi beberapa waktu, agar kelak bakat tersebut tampil secara optimal pada waktunya. Ada orang-orang yang jenuh dengan bakatnya sendiri, karena pada rentang waktu tertentu terlalu diumbar.
Maka, sampaikanlah pada anak bahwa ada hal-hal yang tak kalah pentingnya daripada bakat, seperti amanat, ibadat, tanggung jawab, kepedulian kemanusiaan dsb. Katakan padanya bahwa kita tak mungkin cuek terhadap bencana di Garut, hanya gara-gara “tak berbakat menolong orang”. Katakan padanya bahwa bakat itu perlu diaktualisasikan sedikit-sedikit. Kita bahkan perlu menyembunyikan bakat, agar rindu pada bakat itu sendiri. Katakan pula padanya bahwa ia sebenarnya punya bakat-bakat lain yang perlu dikembangkan, karena bakat manusia tak hanya satu.
Tentang Homeschooling dan Home Education, tujuan utamanya sebenarnya adalah membangun karakter dan kedewasaan. Dan tak ada tempat yang lebih baik dalam membangun karakter dan kedewasaan daripada rumah dan komunitas tempat tinggalnya sendiri. Jadi, sampai usia 13-15 tahun fokuskanlah untuk pembangunan kedewasaan itu. Pada usia ini bakat perlu ditumbuhkan. Sedangkan pengembangan dan pengayaan bakat baru dilakukan setelah kedewasaan tercapai.
Tentang kebutuhan untuk berteman dan bersosialisasi, itu kan bisa dibangun di mana saja, tak harus di sekolah. Dia bisa mengerjakan proyek-proyek tertentu bersama saudara-saudaranya atau teman-temannya di komunitas. Sosialisasi dan kebersamaan juga bisa dibangun di komunitas-komunitas kursus, belajar bersama kepada mastro tertentu. Atau, dia juga bisa dimasukkan ke SMP dekat rumah yang beban akademiknya tak terlalu besar.✅
TANYA
2⃣ Bunda Tari, Purbalingga
Assalamualaikum mau tanya ustadz,
Anak sy laki2 11th Blm bisa mengelola emosi, gampang marah, ngambek, terutama bila ada anak yg meledek
Sentimentil sekali,
Untuk sholat kadang msh hrs disuruh tp kadang sdh mandiri
Itu dulu bun, matur nuwun
JAWAB
2⃣ Bunda Tari di Purbalingga
Jika anak itu berusia 11 tahun masih memiliki emosi seperti itu, berarti perkembangan emosionalnya cukup terlambat. Ada beberapa kemungkinan : ekspresi emosi di masa lalu terlalu ditahan atau terlalu diumbar, pertumbuhan nuraninya kurang berkembang, gaya ekspresi emosi dalam keluarga cenderung meletup, ada frustrasi-frustasi dalam dirinya terhadap “orang kuat” (orangtua, kakak, guru dsb) sehingga membalasnya ke “orang lemah” (teman, adik, orang miskin dsb.)
Anak-anak dengan emosi yang mudah tersulut berarti punya potensi untuk memiliki kecerdasan emosional kelak. Untuk itu, ia harus dididik : apa jenis emosi yang harus dikeluarkan, seberapa kadar emosi yang tepat, kapan dikeluarkan, kepada siapa diekspresikan, dan di mana seharusnya emosi tersebut di luapkan ?
Anak-anak tipe emosional adalah anak-anak yang harus dididik untuk merasakan “apa akibat luapan emosi itu bagi dirinya sendiri”. Dia harus merasakan akibat dari kemarahannya, murkanya, ngambeknya dsb. Pada dasarnya, mendidik anak-anak yang emosional bukanlah dengan cara mengalah, tapi “membalas” dengan emosi yang setara, namun disadari dan terkontrol. Biarlah anak belajar dari emosinya sendiri.
Emosi yang tak terkendali juga disebabkan karena dia mampu meraih apapun yang dia inginkan lewat emosi. Anak akan mengendalikan emosinya jika ternyata luapan emosi tersebut justru tak menghasilkan apa-apa yang dia harapkan, bahkan sebaliknya. Jadi, jangan pernah menuangkan “bensin” ke emosi anak dengan cara memenuhi keinginan emosionalnya. Kalau anak ibu marah jika diledek, katakan padanya “Orang akan makin hobby meledekmu, jika kamu emosi setiap diledek”. ✅
Sumber: Grup HEbAT Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar